Sabtu, 12 Maret 2011

Cinta Orangtua Kepada Anak Akan menjadi apapun anak-anak kita nantinya, mereka tetap anak-anak kita, dan satu hal paling penting yang bisa kita berikan pada mereka adalah cinta dan kasih sayang yang tulus dan sepenuh hati. Bukan cinta dan kasih sayang yang tergantung pada syarat-syarat tertentu, kecuali mereka adalah anak-anak kita.
Whatever they grow up to be, they are still our children, and the one most important of all the things we can give to them is unconditional love. Not a love that depends on anything at all except that they are our children.
Belajar Dari Anak-Anak
Kita bisa belajar banyak hal dari anak-anak, contohnya: seberapa sabarkah kita?
You can learn many things from children. How much patience you have, for instance.

Hal Kecil dengan Cinta

Dalam kehidupan ini kita tidak dapat selalu melakukan hal yang besar. Tetapi kita dapat melakukan banyak hal kecil dengan cinta yang besar.
In this life we cannot always do great things. But we can do small things with great love

 Memberi dan Menerima
Mereka yang dapat memberi tanpa mengingat, dan menerima tanpa melupakan akan diberkati.
Blessed are those that can give without remembering and receive without forgetting.

Sesuatu Yang Lebih

Jika Anda menginginkan sesuatu yang belum pernah anda miliki, Anda harus bersedia melakukan sesuatu yang belum pernah Anda lakukan.
If you want something you’ve never had, you must be willing to do something you’ve never done.

Hidup Ini Singkat

Hidup ini singkat. Tidak ada waktu untuk meninggalkan kata-kata penting tak terkatakan.
Life is short. There is no time to leave important words unsaid.

Cara Memulai

Cara memulai adalah dengan berhenti berbicara dan mulai melakukan.
The way to get started is to quit talking and begin doing.

Pikiran Ibarat Parasut

Pikiran kita ibarat parasut, hanya berfungsi ketika terbuka.
Minds are like parachutes – they only function when open.

Sukses Adalah Perjalanan

Sukses adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir
Success is a journey, not a destination.

Keluarga dan Bisnis

Seseorang sebaiknya tidak pernah menelantarkan keluarnya untuk mendahulukan bisnisnya.
A man should never neglect his family for business.

Definisi Teman

Teman adalah keluarga yang kita pilih sendiri untuk diri kita.
Friends are the family we choose for ourselves.

pisi, pantun dan teka-teki suku BUGIS

Puisi, Pantun dan Teka-teki suku Bugis
KEBESARAN epos-mitos La Galigo telah membunuh banyak genre sastra klasik Bugis. La Galigo yang diduga sebagai karya sastra terpanjang dalam sejarah sastra dunia itu terlalu banyak menyedot perhatian kritikus, peminat dan peneliti seni. Mereka, para peminat dan peneliti seni itu, lupa bahwa begitu banyak karya sastra Bugis lain yang menarik untuk diperbincangkan.
BANYAKNYA ragam genre sastra Bugis bisa dibaca dalam satu bab The Bugis, buku hasil penelitian Christian Pelras selama puluhan tahun di tanah Bugis. Selain jumlahnya yang diperkirakan sampai 2.500.000 karya, kualitas karya-karya itu juga sangat layak untuk jadi bahan kajian. Sebuah tulisan Roger Tol di jurnal KITLV edisi 148-1 (1992: 82-102) memaksa tulisan ini lahir. Roger Tol membahas sebuah genre puisi Bugis, élong, dalam tulisan tersebut. Tulisan ini akan membicarakan ulang satu jenis élong yang sangat unik yakni élong maliung bettuanna, puisi teka-teki yang harus menggunakan rumus tertentu agar bertemu jawabannya. Menurut Salim (1990:3-5), sedikitnya ada 14 jenis élong yang bisa dibedakan menurut isi (content), peristiwa (occasion) di mana lagu itu nyanyikan dan terakhir sifat-sifat formalnya (formal peculiarities).
Ada élong yang secara khusus membicarakan perihal keluarga, agama dan hiburan semata. Sejumlah lainnya dipentaskan pada peristiwa-persitiwa khusus, semisal élong madduta (lagu melamar) dan élong osong (lagu perang). Ada juga élong, seperti puisi klasik Jepang, haiku, yang terdiri dari aturan-aturan baris dan jumlah silabel. Lainnya, terdapat élong yang rangkaian huruf awalnya membentuk nama-nama hari. Keunikan-keunikan itulah yang membuat élong bisa menjadi media untuk melakukan permainan bahasa seperti yang juga akan dibahas dalam tulisan ini. Macam-macam élong bisa ditemukan dalam beberapa buku, beberapa di antaranya adalah Salim (1969-71, 1990), Sikki (1978:277-323), dan paling komprehensif adalah koleksi élong yang dikumpulkan oleh pionir pengkaji Bugis dan Makassar, Matthes (1872a:370-409, 1883) .
Tak berbeda dengan pantun, élong sekaligus bisa menjadi sastra lisan dan tulisan. Nama élong (secara harafiah berarti ‘lagu’) sendiri menunjukkan bahwa puisi ini awalnya adalah sastra lisan. Dalam sejarahnya kadang-kadang élong memang dipertunjukkan atau dinyanyikan dengan iringan instrumen seperti biolin dan suling, meskipun juga sering tanpa iringan apa-apa (Sikki, 1978:xi). Dulu, élong bahkan sering dijadikan sebagai salah satu jenis lomba—sambil berpesta pora minum tuak dan makan melimpah.
Sebelum akhirnya hilang dari kehidupan keseharian orang Bugis, élong masih digunakan dalam prosesi melamar, di mana dua kelompok, masing-masing dari pihak laki dan perempuan, saling melempar bait-bait élong hingga hadirnya kesepakatan pernikahan. Semakin lihai kelompok pelamar menggubah bait-bait élong, semakin besar peluang lamarannya diterima. Hal seperti itu tak lagi bisa ditemukan di daerah Bugis sekarang ini. Hampir selalu, status dan harta menjadi faktor paling menentukan diterima atau tidaknya sebuah lamaran. Di daerah Bone, Pinrang dan Sidrap, misalnya, orang tua seorang gadis bisa saja meminta uang ratusan juta sebagai syarat pernikahan.

Menyembunyikan Maksud di Balik Tiga Lapis Sarung
NAMPAKNYA seperti dikatakan oleh dua baris akhir sebuah soneta Shakespeare, so long as men can breathe or eyes can see,/so long lives this, and this gives lives to thee, orang Bugis sejak lama telah menyadari signifikansi puisi. Misalnya saja dengan membuat aturan-aturan tertentu untuk memahami sebuah bait élong maliung bettuanna. Aturan-aturan khusus itulah yang membuat genre puisi ini menjadi sangat unik dan menarik. Tidak saja dalam élong maliung bettuanna, tetapi begitu banyak karya-karya penting, pendek maupun panjang, ditulis menggunakan puisi.
Tak banyak peminat dan sarjana sastra yang membahas jenis puisi élong maliung bettuanna mungkin dikarenakan dua faktor penting yang sama-sama susah dipahami; matra dan archaic vocubulary yang digunakan. Secara harafiah, élong maliung bettuanna berarti ‘lagu yang dalam maknanya’ (maliung berarti ‘dalam’ dan bettuanna berarti ‘artinya’ atau ‘maknanya’). Dengan kata lain, élong ini adalah puisi dengan makna tersembunyi. Sebagaimana jenis élong lain, élong maliung bettuanna pun menggunakan simbol, matra dan bentuk khas. Tetapi jenis élong ini memiliki satu perbedaan yakni penggunaan crypto-language yang sangat khas yang disebut Basa to Bakke’.
Basa to Bakke’ secara harafiah berarti ‘bahasa orang-orang Bakke’’. Sebenarnya penamaan ini merujuk kepada seseorang bernama Datu Bakke’, Pangeran dari Bakke’, yang dikenang karena kecerdasan dan keintelektualannya. Nama orang ini banyak disebut-sebut dalam literatur sejarah Bugis, utamanya Soppeng. Bakke’ sendiri adalah nama sebuah daerah di Soppeng, Sulawesi Selatan. Bisa terjadi kesalahpengertian di sini, sebab seolah-olah ada bahasa lain selain bahasa Bugis yang digunakan dalam puisi Bugis ini. Sehingga sesungguhnya Basa to Bakke lebih cocok diartikan sebagai permainan bahasa Bakke’.
Basa to Bakke’ menjadi ciri khas dalam puisi teka-teki Bugis atau élong maliung bettuanna ini. Sangat berlainan dengan pantun teka-teki yang hanya menggunakan simbol untuk menyembunyikan jawaban, teka-teki élong maliung bettuanna tersembunyi di balik tiga lapis sarung. Untuk tiba pada makna sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh penulisnya, tiga lapis sarung itu harus disingkap satu per satu.
Kalau tuan bawa keladi
Bawakan juga si pucuk rebung
Kalau tuan bijak bestari
Binatang apa tanduk di hidung ?
Bandingkan pantun di atas dengan sebuah teka-teki a la puisi Bugis yang dikutip dari Tol dkk (1992:85) berikut ini:
Kégana mumaberrekkeng,
buaja bulu’édé,
lompu’ walennaé?
(Mana lebih kau suka,
buaya gunung,
atau lumpur sungai?)
Tentu tak susah menemukan jawaban teka-teki pantun di atas. Pantun itu adalah teka-teki Budi di buku Pelajaran Bahasa Indonesia untuk murid Kelas III Sekolah Dasar zaman orde baru. Tetapi bagaimana menemukan ‘jawaban’ teka-teki Bugis di atas? Sebenarnya puisi itu ingin menyampaikan makna: ‘mana lebih kau suka, perempuan cerdas atau perempuan cantik?’.
Bagi yang paham aksara Bugis, tentu masih ingat bahwa aksara Bugis memiliki beberapa keunikan dibandingkan, misalnya, dengan aksara Latin. Aksara Bugis, sebagaimana kebanyakan aksara di Asia, memiliki kecacatan. Kekurangan yang sekaligus bisa jadi kelebihan itu di antaranya adalah tidak adanya huruf mati (final velar nasals), glottal stop, dan konsonan rangkap (geminated consonants). Aksara Bugis, nyaris sama dengan aksara Jepang, setiap hurufnya adalah satu suku kata (syllabel). Satu silabel dalam aksara Bugis bisa dibaca dengan berbagai cara. Contohnya, huruf untuk silabel ‘pa’ bisa saja dibaca /pa/, /ppa/, /pang/, /ppang/, /pa’/, atau /ppa’/. Keunikan aksara Bugis inilah yang dieksplorasi oleh permainan Basa to Bakke’ dalam élong maliung bettuanna.
Dalam satu élong yang disebutkan tadi, sarung pertama yang harus disingkap untuk menemukan jawabannya telah dilakukan dengan memperlihatkan arti puisi itu. Langkah pertama itu adalah mengidentifikasi pernyataan (frase). Ada dua frase dalam puisi itu yang harus diperhatikan, buaja bulue’édé dan lompu’ walennaé. Buaja bulu’édé berarti ‘buaya gunung’ dan lompu’ walennaé berarti ‘lumpur sungai’.
Setelah mengidentifikasi pernyataan, langkah kedua adalah menemukan apa rujukan dari frase yang telah ditemukan. Dalam penyingkapan sarung kedua ini, memang sangat erat kaitannya dengan pengetahuan dan alam pikiran budaya Bugis. Buaja bulu’édé (buaya gunung) dalam budaya Bugis merujuk kepada macang (macan) dan lompu’ walannaé (lumpur sungai) menunjuk kepada kessi’ (pasir).
Jika hanya sampai di sini, puisi itu akan berarti ‘mana yang lebih kau suka, macan atau pasir?’ Tentulah ini akan menjadi sebuah pernyataan yang tidak logis. Tetapi memang bukanlah itu yang sesungguhnya ingin disampaikan puisi tersebut. Masih ada satu lapis sarung yang harus disingkapkan. Di tahapan inilah permainan bahasa tadi digunakan. Dalam tulisan aksara Bugis, kata macang (macan) sama dengan macca’ (cerdas) dan kessi’ (pasir) sama dengan kessing (elok atau cantik). Masing-masing ditulis /ma-ca/ (ingat, tak ada final velar nasals dan geminated consonant dalam aksara Bugis) dan /ke-si/ (ingat juga tak ada glottal stop).
Akhirnya makna puisi itu menjadi ‘mana yang lebih kau suka, (perempuan) cerdas atau (perempuan) cantik?’.
Perhatikan satu contoh lagi berikut ini:
Gellang riwata’ majjékko,
Anré-anréna to Menre’é,
aténa unnyié.
(Tembaga melengkung di ujung,
makanan orang Mandar,
hati kunyit.)
Puisi teka-teki yang berarti ‘aku mencintaimu’ ini bisa disingkap jawabannya dengan cara yang sama. Gellang riwata’ majjékko merujuk kepada méng (kail), anré-anréna to Menre’é merujuk kepada loka (pisang)—konon Orang Bugis dulu menganggap makanan pokok orang Mandar adalah pisang, dan aténa unnyié merujuk kepada ridi (kuning). Jika tiga kata itu dituliskan dalam aksara Bugis akan menjadi /me-lo-ka-ri-di/. Rangkaian huruf ini bisa juga dibaca mélo’ ka ridi yang artinya ‘aku mencintaimu’.
Tiga lapis sarung itu bisa diuraikan lebih rinci seperti berikut; sarung pertama, mengenali frase yang menyimpan kiasan atau sampiran dan bunyi. Dalam puisi di atas, setiap barisnya menyimpan masing-masing satu frase untuk mengenali sampiran itu; gellang riwata majjékko, anré-anréna to Menre’é, dan aténa unnyié. Sampiran dari frase itu, secara berurutan masing-masing; méng (kail), loka (pisang), dan ridi (kuning). Lapis kedua adalah bunyi méng, loka, dan ridi. Bunyi tiga kata itu membawa kita ke lapis sarung selanjutnya untuk menemukan makna (isi), bunyi meng dalam aksara Bugis ditulis /me/, bunyi loka ditulis /lo-ka/, dan bunyi ridi ditulis /ri-di/. Untuk menemukan makna élong semua bunyi itu dirangkai menjadi /me-lo-ka-ri-di/. Rangkaian bunyi itu jika dibaca menjadi mélo’ka ridi yang maknanya ‘aku mencintaimu’.
Jika dalam pantun baris pertama-kedua adalah sampiran dan baris ketiga-keempat adalah isi, maka dalam élong maliung bettuanna bunyi (lapis kedua) yang menjadi sampiran sekaligus petunjuk untuk masuk ke lapis selanjutnya yaitu isi.
Jika disederhanakan, rumus tiga lapis sarung untuk menyingkap makna élongmaliung bettuanna di atas bisa menjadi: (1) frase, (2) bunyi, dan (3) makna.
Lihat contoh berikut ini:
Inungeng mapekke’-pekke’
balinna ase’édé,
bali ulu balé.
(Minuman pekat,
kebalikan atas,
kebalikan kepala ikan.)
Setelah melalui proses penyingkapan makna, puisi ini berarti ’saya tak suka padamu’. Makna itu ditemukan dari rangkaian kata téng, awa, dan ikko yang jika dituliskan dengan aksara Bugis menjadi /te-a-wa-(r)i-ko/, ‘aku tidak mau atau benci padamu’. Frase élong itu adalah inungeng mapekke-pekke, balinna ase’édé, dan bali ulu balé. Bunyi yang dihasilkan frase itu adalah téng (teh), awa (bawah), dan ikko (ekor). Bunyi ini jika dituliskan dalam aksara Bugis akan menjadi /te-a-wa-(r)i-ko/. Rangkaian aksara Bugis itu bisa juga terbaca téawa (r)iko, ‘aku tak suka padamu’.
Vopel (1967:3) mengatakan bahwa kemungkinan puisilah bahasa paling rumit di dunia ini. Disebut paling rumit karena puisi menghendaki kepadatan (compactness) dalam pengungkapan. Kepadatan ini tidak hanya tercermin lewat kata-kata yang memiliki bobot makna yang berdaya jangkau lebih luas ketimbang bahasa sehari-hari. Kepadatan juga berperan sebagai pembangun dimensi lapis kedua seperti membangun kesan atau efek imagery, tatanan ritmis di tiap baris, membentuk nada suara sebagai cermin sikap penulis semisal sinis, ironis, atau hiperbolis terhadap pokok persoalan yang diangkat. Dan yang lebih penting juga adalah membangun dimensi lain yang hadir tanpa terlihat karena berada di balik makna literal dan atau di balik bentuk yang dipilih. Tuntutan-tuntutan semacam itu tentu lebih longgar pada genre lain seperti prosa (cerita pendek dan novel).
Selain puitis, élong maliung bettuanna juga memang kelihatan rumit dan berlapis-lapis. Namun jika menemukan rumusnya, puisi ini tidak akan serumit yang kita duga. Sungguh, alangkah pintar orang-orang Bugis (dulu) menyembunyikan maksudnya di balik berlapis-lapis sarung.
Permainan Bahasa, Kunci Jawaban
SEPERTI telah kita lihat, élong maliung bettuanna mengandung dua atau tiga pernyataan teka-teki. Jika kita telah menemukan rujukan yang ditunjuk oleh frase-frase itu, kita akan segera menemukan makna puisi—tentu saja jika paham bahasa dan aksara Bugis. Permainan basa to bakke’ memang menjadi kunci jawaban dari teka-teki dalam sebuah élong maliung bettuanna. Permainan bahasa inilah yang paling menarik dari jenis puisi ini, hal yang kemungkinan besar tak akan ditemui dalam puisi lain.
Sesungguhnya, dalam élong maliung bettuanna ada pola-pola umum permainan bahasa orang Bakke yang paling sering digunakan. Basa to Bakke biasanya menggunakan tiga macam topik dalam frasenya; 1) yang berhubungan dengan nama daerah atau tempat (geographical), 2) tentang tumbuh-tumbuhan (botanical), dan 3) tentang binatang (zoological). Memang ada beberapa pengecualian, tetapi ketiga topik itulah yang paling sering digunakan.
TERNYATA bahasa Bugis bisa menjadi permainan yang menarik. Keunikan bahasa seperti itulah yang membuat puisi Bugis menjadi berbeda dibandingkan jenis puisi lainnya. Meski élong maliung bettuanna tak lagi pernah dipentaskan atau dituliskan, meliriknya kembali bisa menjadi alternatif.
Mengadopsi puisi Bugis ini bisa menjadi jawaban atas kejenuhan banyak kritikus sastra yang menganggap puisi modern Indonesia terperangkap oleh segelintir nama-nama besar, seperti Sapardi Djoko Damono, Suardji Calzum Bachri, Goenawan Mohamad dan Afrizal Malna. Kekuatan élong maliung bettuanna salah satunya adalah ketercapaian dan keseimbangan dua kekuatan, bentuk dan isi—hal yang semakin susah ditemukan oleh penyair-penyair Indonesia kontemporer. Tak banyak jenis puisi yang mampu mengawinkan bentuk dan isi seperti yang diperlihatkan oleh élong maliung bettuanna.
Selain aturan bunyi (fonologi) dan makna (semantik) yang telah dijelaskan di atas, sesungguhnya élong maliung bettuanna juga menarik untuk dilihat dari segi matra. Élong maliung bettuanna ini memiliki aturan matra, terdiri dari tiga baris dan tiap barisnya biasanya terdiri dari delapan, tujuh atau enam suku kata. Puisi-puisi Bugis seperti dijelaskan dalam Tol (1992:83) memiliki tiga jenis matra; pentasyllabic metre (seperti yang diperlihatkan dalam La Galigo), octosyllabic metre (seperti dalam teks puisi-puisi naratif Bugis) dan élong metre.
Meskipun memang rumit memahami genre ini, namun tetap terbuka banyak pintu untuk masuk dan menikmati élong maliung bettuanna, salah satunya melalui permainan bahasa. Permainan bahasa seperti Basa to Bakke’ yang telah dijelaskan dalam tulisan ini mungkin pula akan membuat, khususnya orang-orang Bugis, belajar dan mencintai kembali bahasa dan aksara Bugis. Selain tak berminat pada sastra klasik, orang-orang juga mulai tak meminati bahasa daerah.[]
Sumber >>>>>> http://www.ininnawa.org/article25.html
Referensi:
1. Fachruddin Ambo Enre, 1983, Ritumpanna Weelenrennge, telaah filologis sebuah Episode Bugis klasik, Jakarta: Universitas Indonesia.
2. Kennedy, J.X, 1991. Literaure: an Introduction to Fiction, Poetry and Drama, (Fifth Edition). New York: harper Collins Publisher.
3. Mattulada, 1985, Latoa; satu lukisan analitis terhadap antropologi politik orang Bugis, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
4. Muhammad Salim, 1969-71, Transliterasi dan Terjemahan elong Ugi (kajian naskah Bugis), Ujung pandang: Departemen P dan K, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan.
5. Muhammad Sikki, dkk, 1978, Terjemahan beberapa naskah lontara Bugis, Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
6. Pelras, Christian, 2006, Manusia Bugis, Jakarta: Nalar.
7. Perrine, Laurence, 1974, Literatre: Structure, Sound and sense. (Second Edition). New York: Harcourt Brace Javanovisch Inc.
8. Rahman Daeng Palallo, 1968, ‘Bahasa Bugis; Dari hal elong maliung bettuanna (pantun jang dalam artinya)’, Bingkisan I.
9. Tol, Roger, 1992, ‘Fish Food on a Tree Branch; Hidden Meanings in Bugis Poetry’, Leiden: Bijdragen tot de Taal-, land- en Volkenkunde 148 : 82-102.
Tulisan lebih lengkap mengenai ini juga pernah dimuat di www.puisi.net dan www.panyingkul.com.
Manusia Bugis, Rantau & Budayanya
RESENSIJudul : Manusia Bugis
Penulis : Christian Pelras
Penerbit : Nalar, Jakarta
Tahun : Februari 2006.

Oleh : Muhammad Resa As'sidyq Sadriandi binti Resky Awaliyah Arif
“Dari mana nenek-moyang orang Sulawesi Selatan berasal? … jika anggapan Mills benar bahwa lokasi pertama yang ditempati para pendatang adalah sekitar muara Sungai Saddang, maka kemungkinan besar asalnya dari Kalimantan Timur, yakni sekitar Kutei-Samarinda, atau dari bagian tenggara Kalimantan, yakni sekitar Pegatan-Pulau Laut (belakangan, pada kedua wilayah itu terdapat perkampungan bugis. Mungkin tanpa disadari, mereka sebenarnya telah kembali ke tempat asal nenek-moyang mereka) …”Demikian Christian Pelras, menulis salah satu tesis tentang asal nenek moyang orang Bugis di Sulawesi Selatan, di dalam bukunya Manusia Bugis (Nalar, 2006 hal. 45, terjemahan dari The Bugis, 1996). Tesis ini sudah lama dikemukakan oleh seorang ahli bahasa, Roger F. Mills, yaitu pada tahun 1975, namun bagi masyarakat umum di Indonesia pendapat ini mungkin masih baru.Selain baru, juga menarik sebab pemahaman yang ada adalah orang Bugis (termasuk suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat) yang ada di Kalimantan Timur dewasa ini berasal dari pulau Sulawesi dari proses gelombang migrasi yang hampir terjadi sepanjang tahun, meski itu hanya per individu. Dengan kata lain, “Mereka kembali ke asal”. Betulkah demikian? Ada ilmuwan yang setuju, ada yang tidak. Namun dari penelitian kesamaan bahasa dan kedekatan geografis, itu sangat dimungkinkan untuk terjadi.
Terlepas orang Bugis “kembali” atau tidak, Kalimantan Timur merupakan salah satu kawasan penting di dalam sejarah migrasi orang Bugis, sejak ratusan tahun lampau sampai detik tulisan ini dibuat. Untuk itu, pada gilirannya, dunia sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Kalimantan Timur tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Bugis atau Sulawesi Selatan secara umum.

Manusia Bugis di Kalimantan Timur tidaklah satu “jenis” saja. Pertama yang perlu diketahui, istilah “Bugis” sering diartikan sebagai “orang dari Sulawesi Selatan”, meski orang itu beretnik Makassar, Mandar, Bajau dan Toraja. Kedua, ada orang Bugis yang memang melakukan migrasi (lahir di tanah Sulawesi untuk kemudian pindah) dan ada yang orang hanya Bugis biologis saja, yaitu kedua (atau satu) orangtuanya berasal dari Sulawesi tetapi dia lahir di Kalimantan Timur.
Buku setebal 500 halaman ini merupakan buku terbaik tentang kebudayaan Suku Bugis. Artinya, dia bisa menjadi rujukan untuk dua hal di atas: perbedaan dan kesamaan Bugis dengan suku lain dan acuan generasi Bugis yang lahir di luar tana Ugi, misalnya di Kalimantan Timur ini. Manusia Bugis dan budayanya amatlah penting diketahui dari sumber yang obyektif sebab seringkali ada yang belum kita pahami hingga menimbulkan persepsi yang salah atau berlebihan terhadap Bugis dan manusianya.
Kalimat kunci yang menjadi benang merah antara: Pulau Sulawesi–manusia Bugis–migrasi–tujuan migrasi adalah alasan untuk melakukan perpindahan dari tanah kelahirannya ke daerah lain, baik di pulau yang sama (Sulawesi) maupun di seberang lautan: “…berhubungan dengan upaya mencari pemecahan konflik pribadi, menghindari penghinaan, kondisi yang tidak aman, atau keinginan untuk melepaskan diri baik dari kondisi sosial yang tidak memuaskan, maupun hal-hal yang tidak diinginkan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan ditempat asal.” (hal. 370).
Dari alasan-alasan di atas, Pelras mengambil kasus orang Bugis di Kalimantan Timur sebagai salah satu contoh, yaitu perpindahan seorang bangsawan Wajo’ bernama La Ma’dukelleng bersama 3.000 pengikutnya ke Pasir. Dan oleh Sultan Pasir, perantau tersebut diberi tanah yang sekarang ini dikenal dengan nama Samarinda, kawasan yang dibesarkan oleh orang Bugis.
Alasan di atas berlanjut: “Hanya saja, alasan seperti itu saja tampaknya tidak akan cukup memadai untuk dijadikan landasan untuk memahami mengapa begitu banyak tersebar pemukiman orang Bugis di seluruh Nusantara sejak akhir abad ke-17. Juga tidak dapat menjelaskan kenyataan bahwa—terlepas dari keadaan yang terus berubah—aktivitas perantauan justru merupakan ciri khas “permanen” orang Bugis hingga kini”.
Lalu, sebenarnya budaya apa sih yang identik dengan manusia Bugis? Pertanyaan ini mudah dijawab untuk orang Bugis yang memang lahir dan besar di Sulawesi Selatan. Lalu bagaimana yang mengklaim dirinya sebagai to Bugis tetapi dia lahir di daerah lain, katakanlah Kalimantan Timur? Ya, dia berhak bersikap demikian jika kedua orangtuanya Bugis totok, hitung-hitung dia bisa berbahasa Bugis. Tapi ini kan hanya salah satu unsur budaya Bugis. Bagaimana dengan unsur-unsur budaya yang lain? Apakah dia juga memiliki sikap siriq dan pesseq? Apakah ketika dia lahir dan menikah oleh orangtuanya menggunakan budaya-budaya Bugis? Rumahnya berarsitektur rumah Bugis? Apakah dia menjadi bagian dari pranata sosial yang berkembang di tanah Bugis?
Inilah yang perlu dijawab dan dipahami generasi Bugis yang lahir di perantauan. Manusia Bugis dapat dijadikan sebagai bahan perenungan untuk dapat memposisikan diri sebagai generasi yang tidak kehilangan akar budaya meski dia lahir di luar tanah-budaya moyangnya; meski ciri Bugis hanya karena dia keturunan sepasan laki-laki dan perempuan yang berasal dari Sulawesi Selatan.
Bukan itu saja, orang lain yang mempunyai latar belakang suku yang berbeda tetapi bergaul dengan manusia Bugis di kesehariannya, misalnya sebagai isteri/suami, teman sekantor, rekan bisnis, dan sahabat juga penting untuk memahami budaya-budaya Bugis. Bagaimanapun, Banjar, Dayak, Jawa, dan suku lain di Kalimantan Timur mempunyai banyak perbedaan dengan budaya Bugis yang sedikit-banyak seringkali menimbulkan pergesakan yang berujung pada konflik. Pemahaman atas budaya Bugis dan sebaliknya (orang Bugis juga harus memahami budaya pihak lain) adalah salah satu cara untuk menjalin hubungan yang harmonis.
Di mata orang luar, orang Bugis dikenal sebagai orang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu, demi mempertahankan kehormatan (siriq), mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi kesetiakawanannya. Orang Bugis memiliki berbagai ciri khas yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah Nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India, dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka. Orang Bugis juga memiliki kesusastraan, baik lisan maupun tulisan yang cukup dikagumi. Dan setelah menganut Islam, bersama Aceh, Minangkabau, Melayu, Sunda, Madura, Moro, Banjar, Makassar, dan Mandar, orang Bugis identik sebagai orang di Nusantara yang kuat identitas keislamannya.

makna pemmali dalam budaya bugis

Makna pemmali dalam Budaya Bugis
Oleh: Muhammad Resa As'sidyq
Pemmali merupakan istilah dalam masyarakat Bugis yang digunakan untuk menyatakan larangan kepada seseorang yang berbuat dan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai. Pemmali dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “pemali” yang memiliki makna pantangan, larangan berdasarkan adat dan kebiasaan.
Masyarakat Bugis meyakini bahwa pelanggaran terhadap pemmali akan mengakibatkan ganjaran atau kutukan. Kepercayaan masyarakat Bugis terhadap pemmali selalu dipegang teguh. Fungsi utama pemmali adalah sebagai pegangan untuk membentuk pribadi luhur. Dalam hal ini pemmali memegang peranan sebagai media pendidikan budi pekerti.
Bentuk-bentuk Pemmali
Pemmali dalam masyarakat Bugis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pemmali dalam bentuk perkataan dan pemmali dalam bentuk perbuatan.
1. Pemmali Bentuk Perkataan
Pemmali bentuk ini berupa tuturan atau ujaran. Biasanya berupa kata-kata yang dilarang atau pantang untuk diucapkan. Kata-kata yang pantang untuk diucapkan disebut kata tabu. Contoh kata tabu yang merupakan bagian pemmali berbentuk perkataan misalnya balawo â˜tikusâ, buaja â˜buayaâ, guttu â˜gunturâ. Kata-kata tabu seperti di atas jika diucapkan diyakini akan menghadirkan bencana atau kerugian. Misalnya, menyebut kata balawo (tikus) dipercaya masyarakat akan mengakibatkan gagal panen karena serangan hama tikus. Begitu pula menyebut kata buaja â˜buayaâ dapat mengakibatkan Sang Makhluk marah sehingga akan meminta korban manusia.
Untuk menghindari penggunaan kata-kata tabu dalam berkomunikasi, masyarakat Bugis menggunakan eufemisme sebagai padanan kata yang lebih halus. Misalnya, kata punna tanah â penguasa tanah â digunakan untuk menggantikan kata balawo, punna uwae â˜penguasa airâ digunakan untuk menggantikan kata buaja.
2. Pemmali Bentuk Perbuatan atau Tindakan
Pemmali bentuk perbuatan atau tindakan merupakan tingkah laku yang dilarang untuk dilakukan guna menghindari datangnya bahaya, karma, atau berkurangnya rezeki.

Beberapa contoh pemmali dan maknanya:
(1) Riappemmalianggi anaâ daraE makkelong ri dapurennge narekko mannasui (Pantangan bagi seorang gadis menyanyi di dapur apabila sedang memasak atau menyiapkan makanan).
Masyarakat Bugis menjadikan pantangan menyanyi pada saat sedang memasak bagi seorang gadis. Akibat yang dapat ditimbulkan dari pelanggaran terhadap larangan ini adalah kemungkinan sang gadis akan mendapatkan jodoh yang sudah tua. Secara logika, tidak ada hubungan secara langsung antara menyanyi di dapur dengan jodoh seseorang. Memasak merupakan aktivitas manusia, sedangkan jodoh merupakan faktor nasib, takdir, dan kehendak Tuhan.Jika dimaknai lebih lanjut, pemmali di atas sebenarnya memiliki hubungan erat dengan masalah kesehatan. Menyanyi di dapur dapat mengakibatkan keluarnya ludah kemudian terpercik ke makanan. Dengan demikian perilaku menyanyi pada saat memasak dapat mendatangkan penyakit. Namun, ungkapan atau larangan yang bernilai bagi kesehatan ini tidak dilakukan secara langsung, melainkan diungkapkan dalam bentuk pemmali.
(2) Deq nawedding anaq daraE matinro lettu tengga esso nasabaq labewi dalleqna (Gadis tidak boleh tidur sampai tengah hari sebab rezeki akan berlalu).
Bangun tengah hari melambangkan sikap malas. Apabila dilakukan oleh gadis, hal ini dianggap sangat tidak baik. Jika seseorang terlambat bangun, maka pekerjaannya akan terbengkalai sehingga rezeki yang bisa diperoleh lewat begitu saja. Terlambat bangun bagi gadis juga dihubungkan dengan kemungkinan mendapatkan jodoh. Karena dianggap malas, lelaki bujangan tidak akan memilih gadis seperti ini menjadi istri. Jodoh ini merupakan salah satu rezeki yang melayang karena terlambat bangun.
Dari tinjauan kesehatan, bangun tengah hari dapat mengakibatkan kondisi fisik menjadi lemah. Kondisi yang lemah menyebabkan perempuan (gadis) tidak dapat beraktivitas menyelesaikan kebutuhan rumah tangga. Masyarakat Bugis menempatkan perempuan sebagai pemegang kunci dalam mengurus rumah tangga. Perempuan memiliki jangkauan tugas yang luas, misalnya mengurus kebutuhan suami dan anak.
(3) Riappemmalianggi matinro esso taue ri sese denapa natabbawa ujuna taumate engkae ri bali bolata
(Pantangan orang tidur siang jika jenazah yang ada di tetangga kita belum diberangkatkan ke kuburan).
Pemmali ini menggambarkan betapa tingginya penghargaan masyarakat Bugis terhadap sesamanya. Jika ada tetangga yang meninggal, masyarakat diharapkan ikut mengurus. Masyarakat biasanya berdatangan ke tempat jenazah disemayamkan untuk memberikan penghormatan terakhir dan sebagai ungkapan turut berduka cita bagi keluarga yang ditinggalkan. Masyarakat yang tidak dapat melayat jenazah karena memiliki halangan dilarang untuk tidur sebelum jenazah dikuburkan. Mereka dilarang tidur untuk menunjukkan perasaan berduka atau berempati dengan suasana duka yang dialami keluarga orang yang meninggal.
(4) Pemmali mattula bangi tauwe nasabaq macilakai (Pantangan bertopang dagu sebab akan sial).
Bertopang dagu menunjukkan sikap seseorang yang tidak melakukan sesuatu. Pekerjaannya hanya berpangku tangan. Perbuatan ini mencerminkan sikap malas. Tidak ada hasil yang bisa didapatkan karena tidak ada pekerjaan yang dilakukan. Orang yang demikian biasanya hidup menderita. Ia dianggap sial karena tidak mampu melakukan pekerjaan yang mendatangkan hasil untuk memenuhi kebutuhannya. Ketidakmampuan tersebut mengakibatkan hidupnya menderita.
(5) Pemmali lewu moppang ananaE nasabaq magatti mate indoqna (Pemali anak-anak berbaring tengkurap sebab ibunya akan cepat meninggal).
Tidur tengkurap merupakan cara tidur yang tidak biasa. Cara tidur seperti ini dapat mengakibatkan ganguan terhadap kesehatan, misalnya sakit di dada atau sakit perut. Pemali ini berfungsi mendidik anak untuk menjadi orang memegang teguh etika, memahami sopan santun, dan menjaga budaya. Anak merupakan generasi yang harus dibina agar tumbuh sehingga ketika besar ia tidak memalukan keluarga.
(6) Pemmali kalloloe manrewi passampo nasabaq iyaro nasabaq ipancajiwi passampo siri (Pemali bagi remaja laki-laki menggunakan penutup sebagai alat makan sebab ia akan dijadikan penutup malu).
Laki-laki yang menggunakan penutup benda tertentu (penutup rantangan, panci, dan lainnya) sebagai alat makan akan menjadi penutup malu. Penutup malu maksudnya menikahi gadis yang hamil di luar nikah akibat perbuatan orang lain. Meski pun bukan dia yang menghamili, namun dia yang ditunjuk untuk mengawini atau bertanggung jawab. Inti pemali ini adalah memanfaatkan sesuatu sesuai fungsinya.
Menggunakan penutup (penutup benda tertentu) sebagai alat makan tidak sesuai dengan etika makan. Penutup bukan alat makan. Orang yang makan dengan penutup merupakan orang yang tidak menaati sopan santun dan etika makan. Akibat lain yang ditimbulkan jika menggunakan penutup sebagai alai makan adalah debu akan terbang masuk ke makanan. Akhirnya, makanan yang ada di wadah tertentu menjadi kotor karena tidak memiliki penutup. Hal ini sangat tidak baik bagi kesehatan karena dapat mendatangkan penyakit.
(7) Pemmali saleiwi inanre iyarega uwae pella iya puraE ipatala nasabaq mabisai nakenna abalaq (Pemali meninggalkan makanan atau minuman yang sudah dihidangkan karena biasa terkena bencana).
Pemali ini memuat ajaran untuk tidak meninggalkan makanan atau minuman yang telah dihidangkan. Meninggalkan makanan atau minuman yang sengaja dibuatkan tanpa mencicipinya adalah pemborosan. Makanan atau minuman yang disiapkan itu menjadi mubazir. Makanan bagi masyarakat Bugis merupakan rezeki besar. Orang yang meninggalkan makanan atau minuman tanpa mencicipi merupakan wujud penolakan terhadap rezeki. Selain itu, menikmati makanan atau minuman yang dihidangkan tuan rumah merupakan bentuk penghoramatan seorang tamu terhadap tuan rumah. Meninggalkan makanan dapat membuat tuan rumah tersinggung.
Berdasarkan beberapa contoh yang dipaparkan di atas, pemmali dapat dikategorikan ke dalam beberapa bagian, yaitu menurut jenis kelamin, usia, atau bidang kegiatan. Pemmali dalam masyarakat Bugis merupakan nilai budaya yang sarat dengan muatan pendidikan. Pemmali umumnya memiliki makna yang berisi anjuran untuk berbuat baik, baik perbuatan yang dilakukan terhadap sesama maupun perbuatan untuk kebaikan diri sendiri. Pemmali sangat kaya nilai luhur dalam pergaulan, etika, kepribadian, dan sopan santun. Melihat tujuannya yang begitu luhur, pemmali merupakan nilai budaya Bugis yang mutlak untuk terus dipertahankan.

SEJRAH PARE-PARE

Sejarah Kota Parepare






Diawal perkembangannya dataran tinggi yang sekarang ini, yang disebut Kota Parepare, dahulunya adalah merupakan semak-semak belukar yang diselang-selingi oleh lubang-lubang tanah yang agak miring tempat  tumbuhnya semak-semak tersebut secara liar dan tidak teratur, mulai dari utara (Cappa Ujung) hingga ke jurusan selatan kota. Kemudian dengan melalui proses perkembangan sejarah sedemikian rupa dataran itu dinamakan Kota Parepare.

Lontara Kerajaan Suppa menyebutkan, sekitar abad XIV seorang anak Raja Suppa meninggalkan Istana dan pergi ke selatan mendirikan wilayah tersendiri pada tepian pantai karena hobbynya memancing. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai kerajaan Soreang, kemudian satu lagi kerajaan berdiri sekitar abad XV yakni Kerajaan Bacukiki.

Dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tonapaalangga (1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini dan spontan menyebut “Bajiki Ni Pare” artinya “Baik dibuat pelabuhan Kawasan ini”. Sejak itulah melekat nama “Parepare” Kota Pelabuhan. Parepare akhirnya ramai dikunjungi termasuk orang-orang melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.

Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di depannya, serta memang sudah ramai dikunjungi orang-orang, maka Belanda pertama kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda bermarkas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara  Sulawesi Selatan. Hal ini yang berpusat di Parepare untuk wilayah Ajatappareng.

Pada zaman Hindia Belanda, di Kota Parepare, berkedudukan seorang Asisten Residen dan seorang Controlur atau Gezag Hebber sebagai Pimpinan Pemerintah (Hindia Belanda), dengan status wilayah pemerintah yang dinamakan “Afdeling Parepare” yang meliputi, Onder Afdeling Barru, Onder Afdeling Sidenreng Rappang, Onder Afdeling Enrekang, Onder Afdeling Pinrang dan Onder Afdeling Parepare.

Pada setiap wilayah/Onder Afdeling berkedudukan Controlur atau Gezag Hebber. Disamping adanya aparat pemerintah Hindia Belanda tersebut, struktur Pemerintahan Hindia Belanda ini dibantu pula oleh aparat pemerintah raja-raja bugis, yaitu Arung Barru di Barru, Addatuang Sidenreng di Sidenreng Rappang, Arung Enrekang di Enrekang, Addatung Sawitto di Pinrang, sedangkan di Parepare berkedudukan Arung Mallusetasi.

Struktur pemerintahan ini, berjalan hingga pecahnya Perang Dunia II yaitu pada saat terhapusnya Pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1942.

Pada zaman kemerdekaan Indonesia tahun 1945, struktur pemerintahan disesuaikan dengan undang-undang no. 1 tahun 1945 (Komite Nasional Indonesia). Dan selanjutnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1948, dimana struktur pemerintahannya juga mengalami perubahan, yaitu di Daerah hanya ada Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) dan tidak ada lagi semacam Asisten Residen atau Ken Karikan.

Pada waktu status Parepare tetap menjadi Afdeling yang wilayahnya tetap meliputi 5 Daerah seperti yang disebutkan sebelumnya. Dan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan dan pembagian Daerah-daerah tingkat II dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, maka ke empat Onder Afdeling tersebut menjadi Kabupaten Tingkat II, yaitu masing-masing  Kabupaten Tingkat II Barru, Sidenreng Rappang, Enrekang dan Pinrang, sedang Parepare sendiri berstatus Kota Praja Tingkat II Parepare. Kemudian pada tahun 1963 istilah Kota Praja diganti menjadi Kotamadya dan setelah keluarnya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka status Kotamadya berganti menjadi “KOTA” sampai sekarang ini.

Didasarkan pada tanggalpelantikan dan pengambilan sumpah Walikotamadya Pertama H. Andi Mannaungi pada tanggal 17 Februari 1960, maka dengan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah No. 3 Tahun 1970 ditetapkan hari kelahiran Kotamadya Parepare tanggal 17 Februari 1960.
Adapun pejabat Walikota dan Wakil Walikota sejak Tahun 1960 :
1 1
H. Andi Mannaungi, Walikota KDH 1960–1965
2 Andi_Mappangara
Andi Mappangara, Walikota KDH 1965-1968
3 3
H. Andi Makkoelaoe, Pgs. Walikota KDH 1968–1969
4 Andi_Mallarangeng
Drs. Andi Mallarangeng, Walikota KDH 1969–1972
5
Abdullah_Adjaib
Abdullah Adjaib, Walikotamadya KDH 1972–1973
6 6
Drs. H. Parawansa, Walikotamadya KDH 1973–1977
7 7
Drs. H. M. Joesoef Madjid, Walikotamadya KDH 1977–1983
8 8
Prof. Dr. Achmad Amiruddin, Pj Walikotamadya KDH 1983-1983
9 9
Drs. H. Andi Samad Thahir, Walikotamadya KDH 1983–1988
10 10
H. Mirdin Kasim, SH, M.Si, Walikotamadya KDH 1988–1993
11 11
Drs.H.Syamsul Alam Bulu, M.Si,Walikotamadya KDH  1993–1998
12 12
H. Basrah Hafid, SH, MM, Walikota 1998–2003

Drs._H._Tadjuddin_Kammisi_MM
Drs. H. Tadjuddin Kammisi, MM, Wakil Walikota 1998–2003
13 walikota
Drs. H. M. Zain Katoe, Walikota 2003–2008


Drs._H._Tadjuddin_Kammisi_MM
Drs. H. Tadjuddin Kammisi, MM, Wakil Walikota 2003-2008
14 Drs._H._Andi_Sulham_Hasan_M.Si
Drs. H. Andi Sulham Hasan, M.Si, Penjabat Walikota  2008-2008
15 Walikota-Parepare300
Drs. H. M. Zain Katoe, Walikota 2008-2013


Wawali-Parepare300
H. Sjamsu Alam, Wakil Walikota 2008-2013

 
Sedangkan Pejabat Ketua DPRD Kota Parepare adalah :
1             Moh. Amin La Engke “dua periode”  (1960 – 1969)
2
Abdul Rasyid Rauf, BA   (1969 – 1971)
3
A. Muh Akrab “dua periode”   (1971 – 1982)
4
H. Syamsuddin Ahmad      (1982 – 1987)
5 halidhalim H. Abdul Halid Halim, BA   (1987 – 1992)
6 soerono Kolonel Drs. J. M. Soerono       (1992 – 1997)
7 chalik H. Abd. Chalik Latif    (1997 – 1999)
8 amindollah H. Muh. Amin Dollah, BA    (1999 – 2004)
9 Muhadir H. Muhadir Haddade, SH    ( 2004-2009)
10 Muhadir H. Muhadir Haddade, SH      (2009-2014)

sejarah barru

SEJARAH RINGKAS KERAJAAN BARRU
Ditulis oleh : SADRIANDHI LOVE RESA
Dikutip langsung dari Suleman S. (Penilik Kebudayaan Kabupaten Barru)

Menurut cerita-cerita orang dahulu, nama Barru sebelum terbentuknya kerajaan terjadi akibat perkawinan turunan bangsawan Luwu dengan Gowa diatas bukit Ajarenge dimana disitu banyak pepohonan kayu yang disebut Aju Beru. Kemudian nama Aju Beru itulah yang hingga kini dikenal dengan nama Barru.

Sebelum adanya kerajaan di Barru, menurut Lontara silsilah Raja-raja Barru pada mulanya Barru dirintis oleh Puang Ribulu Puang Ricampa hingga datangnya seorang keturunan ManurungE Ri Jangang-Jangngan menjadi Raja pertama (I) di Barru yang kemudian setelah wafatnya digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Kajuara. Adapun batas-batas kerajaan Barru pada masa itu adalah:

1. Sebelah Selatan berbatasan dengan kerajaan Tanete
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Soppeng
3. Sebelah Utara berbatasan dengan Soppeng Riaja
4. Sebelah Barat berbatasan dengan lautan Selat Makassar.

Dengan batas kerajaan inilah raja Barru ke III yaitu MatinroE Ri Daunglesang melaksanakan pemerintahannya dengan mendirikan Bate Tuwung dan Bate Mangempang. Setelah raja ke III ini wafat beliau digantikan oleh puteranya yaitu MatinroE Ri Gollana sebagai raja ke IV dan dalam pemerintahannya beliau menganggap perlu kerajaan Barru ini dibagi menjadi :

1. Barru Timur
2. Barru Barat

Barru Timur yaitu diperkirakan pada daerah sekitar pegunungan dan Barru Barat yaitu daerah sekitar pesisir pantai. Barru Timur kemudian diserahkan kekuasaannya kepada adiknya sedangkan raja Barru MatinroE Ri Gollana memerintah di Barru Barat. Setalah wafatnya MatinroE Ri Gollana beliau digantikan oleh puteranya yang bernama MatinroE Ri Data (V). Raja ini memiliki persahabatan yang cukup dekat dengan raja Soppeng dan setelah wafatnya digantikan oleh puteranya yang bernama MatinroE Ri Bulu (VI). Pada masa pemerintahannya beliau pernah berperang dengan Soppeng dan bersahabat dengan Suppa. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh puteranya yang bernama MatinroE Ri Barugana. Dalam pemerintahannya pernah hidup seorang pemberani yang bernama To Pakapo dan pernah berperang dengan Pange dan Palakka yang berakhir dengan kemenangan Palakka. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh Daeng Maero MatinroE Ri Lamuru sebagai raja ke delapan (VIII). Pada masa pemerintahan beliau datanlah orang dari Gelle untuk meminta tempat tinggal dan diberikanlah daerah Madello sehingga mereka dikenal dengan sebutan orang Madello. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Ajuarana (IX). Pada masa pemrintahan beliau datang orang Sawitto meminta tinggal dan diberikanlah tiga daerah yaitu Coppo, Ammaro, dan Maganjang dengan jalan menyewa tanah. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh MatinroE Ri Coppobulu (X). Raja inilah yang membawa Bate Bolonge ke Tanete untuk ditukar dengan Batena Tanete yaitu La Sarewong kemudian dibawa ke Barru. Pada masa beliau jugalah dibentuk empat kepala kampung yang disebut Matowa yaitu Matowa Baleng, Matowa Tuwung, Matowa Batubessi dan Matowa Ta’. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Laleng Beru (XI). Raja inilah yang menerangkan ArajangE La Sarewo apabila hendak diupacarakan. Pada masa pemerintahan beliau datanglah seorang Karaeng dari Gowa untuk menyerang Tanete dan dimenangkan oleh Karaenge dari Gowa. Pada waktu itulah raja Barru bermaksud berangkat ke Pancana untuk menerima ajaran agama Islam. Belum tercapai niatnya tersebut beliau sudah wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Duajenna (XII). Raja inilah yang pertama membawa masuk agama Islam di Barru. Karena beliau tidak memiliki anak maka setelah wafatnya beliau digantikan oleh kemenakannya To Riwetta Ri Bampa. Beliau pernah berperang dengan kerajaan Bone yang waktu itu dibawah kekuasaan Petta Malampe Gemmegna. Beliau wafat dalam medan perang dan kemudian digantikan oleh saudaranya (XIV). Raja inilah yang kemudian bersahabat dengan Bone dan setelah wafatnya beliau digantikan oleh sepupunya seorang perempuan yaitu MatinroE Ri Gamaccana (XV). Raja inilah perempuan pertama yang menjabat sebagai raja di Barru dan kemudian menikah dengan anak raja Gowa. Beliau jugalah yang menyatukan kembali Barru Timur dan Barru Barat dengan pusat kerajaan di Barru Barat. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama I Lipa Daeng Manako yang setelah wafatnya bergelar MatinroE Ri Madello (XVI). Raja inilah yang kemudian membawa sebagian rakyat dari pihak Bapaknya yaitu Bajeng ke Padangke dan membuka perkampungan disana. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh I Malewai MatinroE RI MaridiE (XVII). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh I Rakiyah Karaeng Agangjene (XVIII). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama To Appo MatinroE Ri SumpangbinangaE (XIX). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh To Apasewa MatinroE Ri Amalana (XX). Beliau menikah dengan I Halija Arung Pao-Pao. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh puteranya yang bernama To Patarai MatinroE Ri Masigina (XXI). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh puterinya yang bernama We Tenripada (XXII) dan kawin dengan anak raja Gowa Patimatarang. Raja inilah yang juga pertama kali membangun mesjid di Mangempang. Beliau kebanyakan berdomisili di Gowa dan sehingga wafatnyapun di Gowa. Setelah wafatnya pangulu adat kerajaan menyerahkan kerajaan Barru kepada suaminya yang bernama Patimatarang namun hanya berjalan selama setahun saja. Kemudian beliau menyerahkan kerajaan Barru kepada puterinya yaitu Batari Toja (XXIII) pada tahun 1895. Pada masa pemerintahan beliau terjadi perang antara Tanete dan Lipukasi yang berakhir dengan direbutnya Lipukasi oleh raja Tanete (Pancaitana). Setelah itu batas kerajaan Barru berubah menjadi:

1. Sebelah Utara sampai sungai Madello hingga ke Selatan sampai ke sungai Lajari.
2. Dari pesisir pantai Selat Makassar sampai ke Timur kerajaan Soppeng.

Karena Batari Toja dalam pemerintahannya kebanyakan berada di Gowa sehingga untuk melaksanakan pemerintahan diberi kepercayaan kepada:

1. ANDI MATTANIO ARUNG TUWUNG (Ayahanda ANDI DJUANNA DG MALIUNGAN) melaksanakan pemerintahan disebelah Selatan sungai ( Taitang Salo)
2. Daeng Magading melaksanakan pemerintahan di sebelah Utara sungai (Manerang Salo).

Pada tahun 1908 Batari Toja digantikan oleh puteranya yang bernama Kalimullah Karaeng Lembang Parang atau dikenal dengan nama Kalimullah Djonjo Karaeng Lembang Parang. Pada masa itu yang menjabat sebagai Sulewatang (Pengganti kekuatan raja) adalah Andi Djuanna Daeng Maliungan.

Kerajaan Barru Menjadi Swapraja
Pada masa Kalimullah Djonjo Karaeng Lembang Parang yaitu di tahun 1908 kerajaan Barru menjadi Onder Afdelling dan dibawah pengawasa Controlleur Belanda hingga tahun 1942. Kemudian Jepang datang tahun 1942 dan melanjutkan pemerintahannya hingga tahun 1945. Setelah Jepang berakhir kembali kerajaan Barru dibawah penguasaan Controlleur Steller yang berkuasa di Barru sampai tahun 1946. Pada tanggal 9 September 1945 Andi Sadapoto yaitu putera Karaeng Lembang Parang diangkat menjadi raja untuk menggantikan Ayahnya. Pada tahun 1947 Andi Sadapoto digantikan oleh Andi Sahribanong dan dalam tahun 1948 inilah kerajaan Barru berubah menjadi Swapraja dengan kepala pemerintahannya yang baru bernama K.P.N. Abdul Latief Daeng Masiki kemudian diganti oleh Patotoreng dan sebagai kepala swapraja Andi Sahribanong kemudian diganti oleh Andi Sumangerukka.

sejarah bulukumba

Sejarah Kabupaten Bulukumba


Bulukumba.... Begitulah orang biasa memanggilnya, kabupaten yang berbatasan langsung dengan kabupeten Sinjai dan kabupaten Bantaeng ini punya segudang hal yang menarik untuk kita perbincangkan...!!! Saya sendiri sebenarnya Bukan orang asli bulukumba, Bisa dibilang saya ini hasil persilangan antara Bunda sya yang memang asli Bulukumba, dan ayah saya yang Asli Bantaeng. Jadi, Saya ini bisa dibilang masih minim pengetahuan kalo berbicara masalah historynya kabupaten Bulukumba. tapi sy bisa memberikan beberapa referensi mengenai sejarah kabupaten Bulukumba...!!!! berikut ini beberapa referensi yang sya CoPas langsung dari sebuah Group Di Facebook.... 
A Afiat Marzuki Sejarah Bulukumba : ketika terjadi perang antara Bone Vs Gowa raja bone melakukan penyerangan kembali melalui jalan selatan. ketika hampir kenegeri yg disebut orang gowa, maka raja bone pun bertanya, gunung yg terhampar didepan kita itu masih kepunyaan kita? pemimpin pasukan menjawab gunung itu masih dlm kekuasaan Baginda, maka baginda mengulangi dengan berkata "Bulu 'kuempa" masih gunung saya maka nama negeri terletak dilereng gunung itu Bulukumba.
Lanjut mengenai Butta toa/kajang terdapat possi tana jelasnya kampung Balagana semacam berupa gua berlubang konon cerita tembus ke laut(selat Bone) ceritanya Pong-mula-tau (manusia pertama) yg melebarkan sampai ke penjuru bumi terjadilah dunia Oleh karena itu Orang kajang menganggap keramat Posi tanah memberikan sesajeng, namun juga termasuk memberikan upeti ke Raja Bone, Kalau Tanete dibawah kekuasaan Arung Bekeru, juga membayar upeti ke raja Bone jadi Tanete tidak lansung ke Raja Bone melalui arung Bekeru. saya garis bawahi Balagana Baik bone maupun Belanda tidak pernah masuk tdk diganggu semacam daerah husus tapi disekitrnya dibawa kekuasaan Raja Bone dan Belanda.  Tentu raja-raja kecil ada disetip daerah di Sul-sel di jaman sekarang yah Kepada Desa/lurah, ada yang dulu disebut : Gallarang (gelarang), itu di kindang, Macoa (dituakan) Jennang Dll di Kota Bulukumba di Tanete Karaeng dibawah kekuasaan Bekeru, kajang, bira bonto tiro bersama herlang, dalam hal demikian kesemuanya tunduk kpd Raja-raja : Luwu, Wajo, Soppeng, Bone dan Gowa tercatat dalam sejarah kerajaan di Sul-sel, termasuk Bulukumba memberi Upeti (Pajak) ke Bone, jadi di Bulukumba dibawah pemerintahan Arung Pone (Bone), kecuali Balagana yg dipimpim seorang Amma Toa (dituakan).

Amporona Ikawu ada beberapa catatan penting berkaitan dengan sejarah Bulukumba.
1. kerajaan tertua dan memiliki pengaruh yang luas adalah kerajaan Tanete...
2. pusat perjuangan di masa perang kemerdekaan berada di daerah kessi....
3. mengenai perahu pinisi, menurut beberapa narasumber (salahsatunya rouhmin dahuri)...perahu phinisi sebenarnya baru ada sekitar abad 16-17 masehi...dan nama phinisi berasal dari kata venesia sebuah negara di eropa...
4. wakil celebes pada saat konferensi pemuda di jakarta adalah orang bulukumba yaitu Sultan Haji Dg Raja.


Ishak Salim Thomas Gibson telah melakukan penelitian selama 7 tahun di Bira tentang pengetahuan praktis, pengetahuan simbolik, dan pengetahuan ideologis di tiga masa penting, yakni masa kerajaan, masa islam, dan masa kolonial dan poskolonial. Menarik sekali dan bukunya bisa kawan-kawan beli di penerbit Ininnawa.
 sekedar bocoran tentang buku ini. Buku ini sebenarnya dirancang oleh Thomas Gibson untuk menentang para teorisi besar tentang kekuasaan dan pengetahuan, dalam hal ini Max Weber (tentang kepemimpinan tradisional, kepemimpinan kharismatik, dan kepemimpinan rasional), juga Michel Faucoult tentang kekuasaaan dan pengetahuan, dan Nietsche tentang watak kekuasaan.
dalam buku ini (buku kesatu dari tiga jilid yang direncanakan), ia menggunakan Bira (Ara) sebagai tempat berinteraksisnya tiga macam pengetahuan ini. Bahkan dari penelusurannya sejak kejayaan kerajaan Luwu yang kemudian memperoleh masukan-masukan pengetahuan dari kejayaan kerajaan Majapahit. Gibson menyimpulkan bahwa catatan epos La Galigo banyak dipengaruhi oleh cerita-cerita Panji yang telah terjadi satu dua abad sebelumnya di Jawa. begitu seterusnya, dia menyebut era kerajaan ini sebagai era penuh pengetahuan mitis yang kemudian dituliskan dalam bentuk kronik-kronik kerajaan.
masuknya Islam telah membawa suasana baru dan terjadi pertukaran (atau penguatan) pengetahuan (lama) menjadi pengetahuan baru dan kemudian dituliskan dalam Kitab-kitab yang menjadi panduan para Sultan (engaruh kerajaan Makassar). masuknya pengetahuan birokratis oleh kerajaan dan militer Eropa juga membawa nuansa baru dan pengetahuan baru yang banyak dituliskan dalam catatan-catatan kolonial atau dokumen.
sekumpulan atau tumpukan pengetahuan ini terus menerus mengalami persinggungan yang kadang berbetnuran menjadi konflik fisik atau sebaliknya menjadi perekat ampuh lahirnya berbagai pengetahuan baru yang meliputi pengetahuan praktis, pengetahuan simbolik, dan pengetahuan ideologis.
buku pertama ini banyak bercerita tentang kronik-kronik kerajaan dan buku kedua yang masih sedang diterjemahkan oleh Nurhady Sirimorok dari ININNAWA banyak mengupas masalah masuknya Islam dari tujuh aliran besar dan hingga dampaknya pada indonesia kontemporer, seperti gerakan islam kahar muzakkar hingga politik kerjasama Soeharto atas islam melalui pembentukan ICMI.
yang menarik, karena ini berasal dari kampung teman-teman, yakni BULUKUMBA!


Seperti itulah beberapa referensi yang bisa sya berikan kepada anda- semua.... jika terdapat kesalahan didalamnya mohon koreksinya.... Saya juga  sangat mengharapkan tambahan referensi dari teman-teman sebagai dasar pengetahuan baru bagi saya...!!! : D


Trims... Komentnya Dong....!!!